Pe. Urbanus Bunga Lolon, SVD
Arus Globalisasi dan Expresi Jati diri
“Gadis desa” tetap berjalan ke depan! Kemarin adalah masa lalu yang sudah terlewatkan dan menjadi sejarah atau kenangan dalam hidup. Hari ini adalah fakta yang sedang dihadapi dan menjadi realitas konkrit. Besok adalah harapan yang belum terjawab lalu menjadi mimpi yang ingin digapai. Tulisan berikut masih merupakan sambungan dari bagian pertama lalu menampilkan dua ide pokok. Ide pertama adalah arus globalisasi dan expresi jati diri. Ide kedua adalah “Gadis desa” menghadapi revolusi industri.
Globalisasi berasal dari kata global yang artinya dunia dan lization artinya proses. Dengan demikian secara etimologis globalisasi artinya proses masuknya sesuatu ke ruang lingkup dunia.
Dalam arti yang lebih luas, globalisasi adalah proses integrasi yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk pemikiran dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Faktor utama yang mendorong saling ketergantungan atau independensi adalah kemajuan transportasi dan telekomunikasi. Proses globalisasi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh bisnis dan tata kerja, ekonomi, sumber daya sosial budaya dan lingkungan alam.
Jati diri berarti ciri-ciri, gambaran, atau keadaaan khusus seseorang atau suatu benda. Jati diri juga berarti identitas, inti, jiwa, semangat, dan daya gerak dari dalam.
Bertolak dari makna globalisasi dan jati diri, muncul pertanyaan, bagaimana “si gadis desa” mengexpresikan jati diri di tengah arus globalisasi yang tidak bisa dibendung? Ada beberapa model expresi jati diri yang bisa diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Mempertahankan jati diri yang asli sebagai warga pribumi dengan memegang teguh pada tradisi dan warisan leluhur. Jati diri ini terlahir dari kesadaran hakiki bahwa wajah asli Timor Leste adalah segala tradisi dan nilai asli warisan leluhur atau nenek moyang yang tidak boleh hilang. Olehkarena itu harus dijaga, dipelihara dan dipertahankan sepajang jaman. Inilah identitas paling asli. Jati diri original! Untuk itu cara berpakaian, tata krama, adat istiadat, gaya hidup tetap berpegang teguh pada tradisi warisan nenek moyang. Mereka tidak terpengaruh oleh segala macam perubahan yang datang dari luar. Inilah kelompok tradsional!
Kedua, Mempertahankan jati diri sambil mengikuti perkembangan globalisasi dan bersikap terbuka. Kelompok ini hidup dalam sikap menghargai tradisi tapi tidak menutup diri terhadap kemajuan jaman. Mereka menjaga keaslian jati diri tapi tidak tergiring oleh arus globalisasi. Dengan demikian mereka mampu membawa diri secara seimbang antara yang tradsional dan modern. Mereka tidak tercabut dari akar budaya tapi juga tidak tenggelam dengan arus perubahan yang sungguh menantang. Inilah kelompok moderat dalam budaya lalu mengekspresikan diri secara asli.
Ketiga, Melepas tradisi dan nilai-nilai warisan leluhur yang dianggap ketinggalan kereta lalu berkiblat pada perkembangan jaman dan globalisasi. Kelompok ini hidup dengan mental dan life style kebarat-baratan. Mereka tercabut dari akar budaya. Mengklaim diri sebagai “anak modern atau anak jaman now.” Sementara itu yang modern adalah bukan “miliknya.” Karena yang modern adalah anonim lalu mereka hidup dalam satu ketergantungan yang hampa.
Mereka merasa yang modern adalah “the best.” Yang tradsional adalah “out of date.” Mereka mengidentikan diri seperti orang “barat atau malae” tapi warna kulit dan bentuk tubuh adalah Timor asli. Disini terlahir generasi baru ”Isin Timor jetu malae.”Artinya orang berusaha untuk mengidentikan diri dan gaya seperti orang “barat atau malae” tapi warna kulit dan bentuk tubuh sungguh Timor asli.
Ke-empat, Membuat kombinasi antara yang tradisional dan yang modern lalu menghasilkan gaya hidup baru. Kelompok ini bergaya “kritis dan inovatif” dalam menyeleksi arus globalisasi. Artinya mereka sungguh mengekspresikan diri dengan tidak tecabut dari budaya asli. Juga tidak tergiring oleh perkembangan jaman. Mereka berkreasi untuk mengkombinasikan yang tradisional dan yang modern.
Mereka membuat modifikasi dengan menghasilkan satu gaya baru lewat perpaduan antara yang tradisional dan modern. Misalnya lagu-lagu daerah asli diiringi dengan gaya musik modern. Tais tradisional warisan leluhur dijahit dengan kombinasi gaya modern. Berpakaian tradisional tapi dengan tata rias gaya baru. Ceritera rakyat dipentas dalam bentuk teater modern. Inilah generasi invatif dan produktif lalu bisa menjadi “asset” masa depan Timor Leste!
Kelima, Bersikap apatis dan malas tau. Kelompok ini bersikap masa bodoh terhadap tradisi dan budaya warisan leluhur dan juga tidak menghiraukan segala jenis perubahan. Dengan demikian pengatahuan mereka akan budaya sendiri sangat terbatas. Semetara itu segala jenis perubahan juga tidak dipahami secara baik. Perkembangan mereka adalah “jalan di tempat” lalu mengekpresikan diri apa adanya. Artinya mereka puas dengan diri sendiri tanpa ada “sense of belonging” terhadap budaya asli dan juga bersikap masa bodoh terhadap perkembangan jaman.
Mereka bersikap konsumtip dan menikmati hidup dengan “mental hari ini untuk hari ini!” Dengan demikian mereka lebih bergaya “manja-manja badan” lalu meminimalisir kegiatan dalam kehidupan bersama sebagai makluk sosial. Ada sikap “enjoy life lalu menutup diri sebagai anggota masyarakat. Ada gaya apatis dan malas tau lalu mengarah kepada spiritualitas hidup untuk diri sendiri atau egois. Inilah kelompok generasi “easy going” lalu perkembangannya adalah “jalan di tempat!”
Ke-enam, Melepas budaya asli lalu mengidolakan hak asasi dan demokrasi. Gaya hidup ini melihat warisan budaya asli tidak relevan dengan perkembangan hak asasi manusia dan demokrasi modern. Akibatnya dengan alasan hak asasi dan demokrasi mereka mengabaikan norma dan tradisi warisan leluhur. Selanjutnya bergaya hidup santai dan konsumtip. Dalam segala urusan mereka menolak proses yang lama atau perjuangan yang serius. Mereka mau cepat dapat hasil! Inilah kelompok generasi yang melepas budaya kerja keras, mengagungkan hak asasi dan demokrasi lalu bertumbuh gaya “instant mentality.”
Yah, “si gadis desa” sebagai anggota komunitas Internasional tidak bisa menutup diri terhadap arus globalisasi. Jaman sudah berubah. Dunia sudah tanpa ada batas atau borderless world. Batas negara hanyalah urusan administrasi sementara setiap orang bisa kemana saja karena dunia sudah sangat terbuka.
Arus globalisasi membuat dunia seperti sebuah “kampung raksasa” yang bisa dijangkau karena kemajuan transportasi dan telekomunikasi. Dengan demikian setiap orang tinggal memilih untuk mengexpresikan diri dalam menampilkan jati diri. “Gadis desa” tinggal memilih: Kalah atau menang dengan arus globalisasi! Berdamai atau Kerjasama dalam segala kemajuan jaman! Atau hanya berdiri pasang badan sebagai penonton alias masa bodoh terhadap globalisasi? “Si gadis desa” PASTI BISA!
Discussion about this post