Kisah dari puing-puing bencana di Adonara
Gemuruh itu datang dari atas, dari arah desa Nelelamawangi pada dinihari 4 April 2021. Gemuruh begitu dasyat yang tak pernah terdengar sebelumnya. Bapak Lambertus Laga pati terkaget dan bangun dari tidurnya. Karena lampu padam, ia mengambil senter dan bergegas keluar rumah melalui pintu dapur. Ia mengarahkan senter ke sebelah atas bak air di samping barat rumahnya. Ia tidak melihat sesuatu, tetapi bunyi gelegar itu terasa semakin dekat.
Ama Lamber masuk ke dalam rumah, mengambil sebuah tangga yang kebetulan ada dalam rumah dan menyandarkannya di ruang tengah menuju ke atas kuda-kuda. Dengan segera ia membangunkan istrinya Yuliana Ose Bolen dan keempat anak mereka. Tidak lama kemudian ia mendengar tangisan dari arah datangnya bunyi. Ama Lamber segera berlari ke ruang depan untuk mengecek apa yang sebenarnya terjadi. Ia mengarahkan senter keluar dan terlihat lumpur bercampur batu dan kayu sudah mengepung rumah. Ia berlari ke dapur dan melihat pintu dapur sudah jebol oleh hantaman lumpur dan batu. Ia kembali ke ruang tengah dan melihat anaknya Marseti Benga Ola (10 tahun), Fransiska Letek payon (7 tahun) dan Kristian Ola Ukan (5 tahun) sudah duduk di atas palang kuda-kuda rumah, sedang istrinya berdiri di anak tangga setinggi 2 meter sambil menggendong anaknya Felesti Rante Dato (1,2 tahun) . Ama Lamber pun langsung naik ke tangga tersebut untuk menyelamatkan diri bersama-sama.
Suasana semakin mencekam. Beberapa lama kemudian baru terdengar aliran air di belakang dapur. Tempat ini bukan jalur banjir tapi malam itu menjadi kali baru. Teriakan dan tangisan memecah kesunyian malam bercampur deru longsor dan banjir. Ama Lamber sekeluarga begitu ketakutan dan hanya berpasrah, mungkin malam ini adalah kiamat yang akan merenggut mereka dan warga sekampung. Dalam kengerian yang begitu menakutkan, tiba-tiba suatu batu terpental masuk menghantam kaki tangga. Mereka sangat terkejut dan berpikir inilah saatnya tangga patah lalu mereka terjerembab ke dalam lumpur maut yang sedang bergelora di dalam rumah. Tetapi ternyata tangga masih kuat jadi tumpuan harapan hidup malam itu.
Dalam kegentingan malam ini, waktu terasa berabad-abad untuk beringsut menuju fajar. Harapan hidup hanyalah suatu keajaiban yang agung dari Tuhan bila esok masih ada nafas untuk turun dari anak tangga. Dengan kekuatan segenap jiwa dan raga, mereka bertahan di tumpuan tangga hingga lumpur berhenti berkecamuk. Setelah memastikan keadaan agak lebih tenang, Bapak Lamber mengecek seluruh ruangan dengan lampu senter yang masih dipegangnya. Di ruang depan rumah sebelah kanan, terdapat satu tempat kering yang tak digenangi lumpur sekitar 1 meter persegi. Ia membantu menurukan istri dan keempat anaknya lalu mereka semua berkumpul di ruang depan yang kering itu hingga pagi tiba.
Sekitar jam setengah enam pagi, ada keluarga dari seberang kapela datang mengecek dan mencari mereka untuk memastikan bagaimana keadaan mereka. Puji Tuhan,,,ternyata mereka semua dalam keadaan yang selamat walau kejadian itu telah menimbulkan ketakutan yang luar biasa. Dengan alas papan di atas lumpur, mereka keluar dari rumah dan pergi mencari tempat yang lebih aman di dalam kampung bergabung dengan para warga yang lain.
Hari demi hari menjadi kisah pilu tersendiri karena hidup dalam kondisi yang sudah tidak normal lagi. Menyaksikan kehancuran desa dengan kabar duka dari warga tetangga di desa Nelelamadike menjadi kisah sedih yang tak mungkin terlupakan dalam goresan jiwa. Apalagi sebagian warga Nelelamdike yang direnggut maut hanyut hingga ke belakang rumah dan ditemukan di sana. Suasana tidak lagi sedamai dulu. Hingga kini hari hari dilalui dalam kehampaan dan trauma yang belum sembuh.
Bapak Lamber yang hari hari bekerja sebagai pengiris / penyadap tuak yang rajin dan tekun, kini masih diliputi kecemasan akan hidup. Apakah yang akan terjadi ke depan? Tidak mungkin menjalani waktu dengan terus seperti ini. Rumahnya yang sebagian rubuh dan ditimbun lumpur dan batu perlu dibersihkan. Tapi siapa yang bisa membantu? Karena hampir semua rumah di sekitarnya mengalami hal yang sama.
Kebetulan sekali hari ini (Minggu, 25 April 2021), ada pemuda dari desa Lamabelawa, kecamatan Witihama yang lewat di belakang rumahnya sambil melihat lokasi longsor dan banjir, Bapa Lamber sempat bertegur sapa dengan Bambe dkk dan menyampaikan niat bahwa hendak meminta bantuan pemuda dari desa Lamabelawa, karena ia mendengar dari abang Feri Sabon tentang kekompakan pemuda dalam aktivitas sosial di desa. Dengan spontan Bambe Lamahoda menyambut baik dan mengatakan bahwa kita langsung bantu hari ini karena ada sekitar 40 orang datang untuk membantu warga di sini. Betapa senangnya Bapak Lamber mendengar ketulusan hati dari om Bambe dan kawan-kawan. Pembersihan rumah pun dilakukan dengan mengangkut tanah, batu besar dan kecil dari dalam rumah yang diterjang lumpur dan banjir.
Di saat senja menjelang akhir kerja hari ini, saya mengobrol santai dengan Bapa Lamber. Ia sendiri merasa bahwa ada yang perlu dibuat agar bisa bangkit dan pulih dari situasi ini. Memang tidak mudah, tapi harus dimulai. Sebelum bencana, Ia memiliki rutinitas kerja yang intens karena harus menyadap tuak 26 pohon pagi dan sore. Ia biasanya memulai aktivitasnya di pagi hari sekitar jam empat hingga istriahat menjelang tengah hari, lalu ia lanjutkan kerjaan menyadap tuak di sore hari sekitar jam satu. Tapi saat ini…di tengah kisah duka bencana, ia merasa belum sanggup untuk melakukan seperti dulu. Ia coba memulai lagi menyadap tuak hanya 5 pohon, biar ada aktivitas dan juga ada pemasukan mengingat bahwa ia harus memberi makan untuk keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya.
Di akhir pertemuan ia menyampaikan isi hati yang membuat saya terhenyak.
“Kami sudah tidak nyaman lagi tinggal di sini walaupun rumah kami bisa diperbaiki. Di samping rumah ini sudah menjadi kali besar. Seandainya kami bisa dapat bantuan dari Pemerintah untuk buat rumah, saya memilih buat rumah di tempat yang lain, agar jangan lagi diterjang banjir”.
Discussion about this post