Berbicara tentang Pendidikan itu menarik. Maklumlah Pendidikan adalah salah satu aspek kehidupan yang sangat vital. Banyak perubahan dan perkembangan dalam kehidupan manusia berawal dari Pendidikan. Dengan demikian Pendidikan adalah kunci kemajuan kehidupan baik secara pribadi maupun bersama-sama. Bahkan nasib dan masa depan sebuah bangsa atau negara sangat ditentukan oleh proses Pendidikan dan sistem kurikulum yang digunakan.
Kendatipun demikian tapi tidak bisa diingkari bahwa dalam realitas harian juga terlihat adanya proses Pendidikan yang salah. Ada enam kesalahan utama yang mempunyai dampak yang sangat fatal terhadap esensi Pendidikan. Ke-enam kesalahan itu antara lain:
- Bergesernya Fungsi Keluarga dari Fungsi Edukasi kepada Fungsi Ekonomi
Pada dasarnya Pendidikan itu berawal dari dalam keluarga. Keluarga adalah sekolah pertama bagi setiap anak dan orang tua sebagai guru utama. Hal ini karena setiap orang lahir dari keluarga yaitu dari bapa dan ibu. Proses edukasi terhadap anak berawal dari sejak terbentuknya anak dalam kandungan seorang ibu. Artinya sorang anak mulia menikmati proses Pendidikan dari masa pra-lahir yaitu anak masih di dalam kandungan ibu.
Selanjutnya proses Pendidikan akan menjadi lebih nyata sejak anak lahir. Dengan demikian rumah atau keluarga menjadi sekolah sementara para orang tua adalah guru bagi seorang anak. Proses Pendidikan dalam keluarga berjalan secara natural karena salah satu fungsi dari kehidupan berkeluarga adalah Pendidikan anak.
Fungsi ini tidak bisa tergantikan atau tergeser dengan fungsi yang lain. Akan tetapi dalam kenyataan fungsi edukasi ini tergeser oleh desakan ekonomi atau alasan kesibukan tertentu lalu keluarga “menitipkan” Pendidikan anak hanya berjalan di sekolah. Artinya orang tua lebih berfokus untuk mencari kebutuhan ekonomi keluarga lalu mengabaikan proses Pendidikan anak. Keluarga atau rumah tidak lagi sebagai sekolah bagi seorang anak tapi hanya menyediakan kebutuhan ekonomi.
Fakta ini merupakan sebuah kesalahan yang fatal dari Pendidikan. Faktor ekonomi adalah kebutuhan dasar dari keluarga tapi Pendidikan tidak boleh tergeser oleh alasan ekonomi. Karena pada dasarnya rumah atau kelurga adalah sekolah pertama bagi seorang anak. Selanjutnya yang menjadi guru utama adalah orang tua.
- Pendidikan Gratis antara Tujuan dan Realitas
Kata “gratis” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya cuma-cuma, tidak pungut biaya. Pendididkan gratis artinya para siswa tidak membayar uang sekolah. Mereka sekolah tanpa butuh biaya. Semua fasilitas dan kebutuhan sekolah menjadi tanggungan pemerintah. Para siswa hanya membeli buku tulis, pulpen dan pakaian seragam. Semua kebutuhan dan fasilitas lain disiapkan oleh pemerintah lewat sekolah.
Tujuan dari Pendidikan gratis adalah untuk membantu warga agar setiap anak bisa menikmati pendidikan formal secara maksimal. Selain itu juga untuk membantu keluarga yang miskin supaya bisa mendapat kesempatan untuk menyekolahkan anaknya. Dengan kata lain ada pemerataan Pendidikan untuk semua orang.
Tujuan dari Pendidikan gratis adalah mulia. Artinya membantu warga dan memberi kesempatan kepada setiap orang untuk bisa menikmati Pendidikan formal. Akan tetapi hal yang gratis atau diperoleh dengan cuma-cuma dapat mengurangi nilai rasa respek dan daya juang. Anak didik kurang memberi respek kepada para pendidik atau guru di sekolah. Selain itu karena sekolah gratis juga mempengaruhi daya juang anak untuk bersaing secara akademik lalu dapat meningkatkan kualitas Pendidikan.
Selanjutnya dari pihak orang tua juga tidak merasa ada “beban biaya Pendidikan anak” lalu mereka tidak memberi perhatian secara maksimal terhadap anak. Orang tua hanya ”menunggu” hasil akhir dari ujian sekolah dan merasa bahwa anak mereka “wajib lulus” karena semuanya gratis. Hasil akhir diperoleh dengan cuma-cuma!
Bertolak dari realitas di atas maka Pendidikan gratis itu mempunyai dampak yang besar terhadap proses dan hasil dari Pendidikan itu sendiri. Artinya Pendidikan gratis mempengaruhi proses Pendidikan di sekolah dan hasil akhir atau kualitas dari pendidian itu sendiri.
- Sistem “Katrol Nilai”
Katrol nilai artinya menaikan hasil ujian anak atau siswa supaya bisa mendaptkan nilai yang baik. Dengan cara seperti ini tujuannya adalah untuk membantu anak supaya anak bisa lulus ujian. Praktek “kebaikan hati” seperti ini sering terjadi pada saat anak memasuki ujian akhir atau pada kelas terkahir menjelang ujian kelulusan dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat sekolah menengah atas.
Untuk menentukan kelulusan anak atau kenaikan kelas biasanya ada standar tertentu baik untuk sekolah yang bersangukutan maupun untuk tingkat nasional. Standar itu dipakai untuk menentukan kualitas output atau kelulusan anak. Artinya ada syarat atau rumus tertentu yang dipakai untuk mendapatkan nilai akhir yang harus ditulis pada rapor atau ijazah.
Dalam praktek proses Pendidikan, sistem “katrol nilai” bukan lagi menjadi rahasia. Setiap kali ujian, praktek “katrol nilai” dengan tujuan yang sangat mulia yaitu untuk membantu supaya anak atau siswa bisa lulus dalam ujian.
Sistem “katrol nilai” dilakasankan baik secara pribadi oleh guru bidang studi ataupun berdasarkan kesepakatan bersama oleh para guru di sekolah. Bahkan “katrol nilai” juga menjadi “kesepakatan nasional” dalam menentukan nilai akhir siswa suapaya bisa lulus pada akhir ujian dari tingkat sekolah dasar hingga tingkat sekolah menengah atas.
Praktek sistem ini mempunyai tujuan yang baik yaitu membantu anak. Akan tetapi pada saat yang sama juga sungguh mencoreng martabat Pendidikan karena menunjukan kegagalan akan pendidikan yang disembunyikan dengan cara “katrol nilai.” Anak dinyatakan berhasil tapi bukan hasil keringat sendiri. Hasil dari praktek “katrol nilai” lalu anak merasa bangga dalam satu kepalsuan yang semu.
- Skripsi dan Bisnis
Skripis adalah tulisan ilmiah yang bersifat akademik sebagai salah satu syarat kelulusan terakhir bagi mahasiswa di tingkat perguruan tinggi. Menulis skripsi merupakan tuntutan dari kampus untuk menguji kemampuan dan daya nalar dari mahasiswa lewat karya tulis yang bersifat akademik. Skripsi bisa bersumber dari buku-buku dan teori yang dipelajari lalu dikawinkan dengan penelitian dari lapangan yang dilakukan secara ilmiah.
Skripsi juga bisa dalam bentuk laporan dari hasil karya dan praktek di lapangan lalu diolah dengan teori yang dipelajari di kampus. Yang terpenting adalah bagaimana merangkai bahasa untuk menjadikan sebuah tulisan ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan secara akademik.
Yang menjadi persoalan adalah kemampuan setiap mahasiswa untuk menulis skripsi adalah tidak sama. Atas dasar ini lalu tidak jarang mahasiwa meminta bantuan dari orang lain untuk menulis skripsinya. Yang menulis skiripsi bisa dari dosen di kampus yang sama dengan mahasiswa tersebut atau juga orang lain. Praktek ini menjadi “rahasia” antara mahasiwa dan “penulis skripsi.”
“Jasa baik dosen” atau orang lain yang menulis skripsi bukan hanya dibayar dengan kata “terima kasih.” Ada harga tertentu yang menjadi kesepakatan bersama antara mahasiwa dan “penulis” skripsi. Ketika mulai tawar-menawar harga akan satu tulisan skripsi maka disana unsur bisnis mulai berperanan.
Dengan demikian skripsi dan bisnis adalah praktek dalam dunia Pendidikan yang mencoreng kualitas Pendidikan itu sendiri. Ini adalah praktek yang salah tapi dihidupi karena saling membutuhkan. Mahasiwa butuh tulisan skripsi supaya bisa wisuda. “Penulis skripsi” butuh uang karena tuntutan ekonomi dan biaya hidup.
- Nepotisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “Nepotisme” berarti: perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat, kecenderungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara sendiri terutama dalam pangkat di lingkungan pemerintah, tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.
Pemakaian kata ini semakin berkembang dan luas sehingga tidak hanya dipakai untuk kalangan pemerintah tapi juga mencakup berbagai bidang kehidupan lain. Dalam konteks Pendidikan, nepotisme mengarah kepada proses seleksi penerimaan siswa dan mahasiswa baru. Juga dalam proses penentuan hasil akhir ujian baik di sekolah maupun di kampus.
Gaya nepotisme dalam bidang Pendidikan menghasilkan adanya “keberhasilan yang mulus” tanpa ada perjuangan yang serius. Adanya “jalur khusus” yang memperlancar hasil akhir tanpa melewati proses yang wajar. Mentality dan gaya seperti ini sungguh mencoreng kualitas Pendidikan karena sekolah atau kampus adalah lembaga Pendidikan formal dalam proses pembentukan karakter dan pribadi yang baik.
- Money oriented
Uang mempunyai peranan yang sangat sentral dalam kehidupan manusia. Dengan uang bisa memperlancar semua urusan. Dalam bidang Pendidikan, faktor uang juga menjadi sangat penting.
Akan tetapi ketika sekolah lebih berorientasi pada uang dengan mengabaikan unsur akademik dan kualitas maka dengan sendirinya akan mencoreng esensi dari Pendidikan itu sendiri. Ketika para guru dan staf Pendidikan berorientasi pada uang maka sekolah hanyalah sebagai ladang bisnis untuk kebutuhan pribadi lalu mengabaikan tujuan Pendidikan.
Yah, sungguh dipahami bahwa untuk Pendidikan dan sekolah butuh uang. Akan tetapi faktor uang perlu dikelolah secara wajar sehinggu sungguh mendukung tujuan Pendidikan itu sendiri. Hal ini karena money oriented dalam bidang Pendidikan adalah mentality yang salah lalu merusak mutu Pendidikan.
Inilah enam kesalahan mendasar yang sungguh merusak kualitas Pendidikan. Ketika “kesalahan ini” dilihat sebagai bukan sebuah masalah maka sekolah sedang menyiapkan generasi semu dengan sumber daya manusia yang kalah bersaing dengan tuntutan jaman yang sungguh menantang. Untuk itu dibutuhkan pemahaman yang benar tentang Pendidikan karena Pendidikan adalah kunci utama untuk menyiapkan masa depan gereja dan bangsa.
*Penulis adalah Pastor Misionaris SVD
Discussion about this post