*Oleh: Viktor Jahana
(Mahasiswa Program S3, Jurusan Sosiologi di Universitas Muhammadiyah Malang)
Email: [email protected]
Pendahuluan
Berpolitik membutuhkan kecerdasan untuk menentukan kepastian masa depan bangsa. Berpolitik tidak saja hanya sekedar mengejar kekuasaan semata, tetapi politik harus mampu menentukan kebijakan yang benar demi kejayaan bangsa di masa depan. Dalam perspektif ini kepentingan Negara menjadi focus utama dari berbagai program negara. Serentak dengan itu, kesejahteraan masyarakat menjadi priorita utama dalam setiap keputusan politik. Karena itu, dalam mengambil keputusan politik dibutuhkan sebuah pendekatan hati nurani dan pertimbangan rational agar keputusan itu bisa menjawab dan memenuhi kehendak rakyat banyak.
Pendekatan hati nurani diperlukan agar dalam mengambil tindakan, tidak bertentangan dengan kehendak rakyat. Keputusan politik selalu membutuhkan pertimbangan rasional dan hati nurani agar setiap bentuk tindakan, bisa diawasi dan dievaluasi secara benar dan mendapatkan pertanggungjawaban. Fenomena politik TL yang cendrung kental politik dan mengabaikan persoalan pokok masyarakat, yang berakibat pada hilangnya esensi politik itu sendiri. Politik merupakan kegiatan dan interaksi manusia yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat demi masyarakat umum. (Setiadi M. Elly, Kolip, Usman, 2013, 199). Cita-cita masyarakat umum adalah mencapai kebahagiaan lahir dan batin, maka produk dari politik ini harus bisa memenuhi cita-cita ini. Keputusan politik yang mengecewakan masyarakat TL, tahun 2020 yaitu gagalnya (Anggaran Pendapatan Belanja Negara/APBN) di tahun 2020, dalam sidang di parlemen Nasional TL, yang membuat masyarakat sangat kecewa, yang membuka pintu penderitaan semakin besar dan rasa tidak percaya pada politikus Timor Leste semakin kuat.
Dalam sejarah politik di Timor Leste, sejak restorasi kemerdekaan RDTL 20 Mei 2002 sampai saat ini, sistem politik sudah dijalankan sesuai dengan prinsip demokrasi yang berlaku di sejumlah Negara di dunia. Hal ini nampak dalam proses pemilu Legislative dan Yudikatif setiap 5 tahun sekali. Meskipun dilaksanakan secara demokratis, tetapi setiap partai peserta pemilu, belum mampu memenangkan pemilu secara mayoritas (50 +1). Alasannya karena jumlah penduduk Timor Leste sangat terbatas, yaitu hanya: 1.318.445 jiwa, sementara itu, jumlah partai, peserta pemilu sebanyak 14 partai politik, merebut 65 kursi di Parlemen Nasional. Untuk memenuhi persyaratan undang-undang ini, maka setiap partai melakukan kualisi politik. Lewat kualisi politik ini, maka partai politik bisa membentuk pemerintahan secara legal konstitusional.
Tetapi fakta yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa pemerintahan yang dibentuk berdasarkan hasil kualisi ini, tidak mampu bekerja secara efektif dan tidak menunjukan kesuksesan dalam mengelola pemerintahan. Bahkan lebih tragis lagi, partai yang berkualisi ini berujung pada mati suri (berakhir/berpisah sebelum waktunya tiba). Kualisi tidak bertahan lama sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang. Kemudian dilakukannya pemilu antisipasi (anticipation election ). Namun hasil pemilu berikutnya juga tetap tidak ada partai yang menang mutlak/mayoritas. Pertanyaannya mengapa kualisi politik itu selalu bubar di tengah jalan atau tidak bisa bertahan lama dalam pemerintahan di Timor Leste ?
Kepentingan Kekuasan sangat dominan dibandingkan Negara dan rakyat
Timor Leste merayakan restorasi kemerdekaannya pada tanggal 20 Mei 2002, sejak saat itu, semua orang memiliki kepentingan atas Negara Timor Leste. Secara politik, Timor Leste membentuk Negara demokratis dengan sistem pemerintahannya bersifat semi presidensial, maka pemilu menjadi wahana penting untuk menghasilkan pemerintahan yang bersih dan demokratis. Pemilu Timor Leste dilaksanakan setiap 5 tahun sekali untuk memilih anggota legislative dan yudikatif.
Dalam berbagai pertarungan politik, setiap partai membutuhkan strategi yang baik untuk memenangkan pertarungan tetapi fakta politik menunjukan bahwa pertarungan politik di Timor Leste sangat sulit untuk bisa meraih kemenangan secara mutlak. Alasannya, karena jumlah penduduk yang mengikuti pemilu sangat terbatas dan partai peserta pemilu lumayan banyak . Dalam pemilu 2007 jumlah penduduk TL 1.318.445 sementara jumlah partai peserta pemilu 14 partai politik . Akibatnya, tidak ada satu pun partai politik yang menang secara mayoritas dan harus melakukan kualisi politik dengan partai lain, dalam rangka membentuk pemerintahan.
Dalam proses kualisi tentu setiap partai memiliki kepentingan masing-masing agar berkuasa. Akibatnya interese Negara seringkali diabaikan dan masyarakat menjadi korban dari kualisi yang tidak sepaham itu. Dan ujung-ujungnya kualisi itu pada akhirnya bubar di tengah jalan karena memiliki perbedaan kepentingan politik. Sikap politik deperti ini bertentangan dengan definisi politik yang disampaikan oleh Mariam Budiardjo yang mengatakan politik adalah “usaha menggapai kehidupan yang lebih baik” (Budiardjo, 2008, 13).
Kualisi tanpa hati nurani
Kualisi adalah sebuah atau sekelompok persekutuan, gabungan dan aliansi beberapa unsur, dimana dalam kerja samanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Kualisi bertujuan agar menjamin kekuatan politik pemerintahan sehingga tidak mengalami perperpecahan. Tujuannya sangat ideal agar membangun kekuatan politik dalam menjalankan pemerintahan dan dalam menentukan kebijakan negara.
Teori kualisi partai telah lama berkembang di Negara-negara di Eropa, khususnya pada Negara-negara yang menganut sistem parlementer pada umumnya. Dalam sistem pemerintahan semi presidensil yang multi partai, kualisi adalah suatu keniscayaaan untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Hakekat kualisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat, mandiri dan bertahan lama.
Jhon F. Kennedy salah seorang mantan presiden Amerika Serikat, secara terbuka pernah berujar, politik itu kotor, puisilah yang membersihkannya. Apa yang diungkapkan Kennedy itu semestinya menjadi perhatian kita semua. Betapa politik membutuhkan hati nurani yang dilambangkan dengan puisi. Analisis politik yang kotor, menurut perspektif Kennedy karena targetnya hanyalah menang atau mempertahankan. Sementara asas kesusastraan adalah menyuarakan humanisme universal. Dua kutub yang berbeda ini harus duduk berdampingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga terbangun cakrawala politik berhati nurani.
Jika politikus dan sastrawan saling mengisi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka target menang atau mempertahankan kekuasaan akan dijalankan dengan proses yang baik dan benar. Sehingga bukan kemenangan atau mempertahankan kekuassan itu yang terpenting melainkan membangun iklim demokrasi. Menang dan kalah dalam perspektif politik berhati nurani adalah sama, jika prosesnya dijalankan dengan sistem yang baik dan benar. Ketika seseorang atau sekelompok orang atau partai kalah dalam pemilihan itu adalah keniscayaan demokrasi, ada yang kalah dan ada yang menang. Begitu pula sebaliknya, jika seseorang, sekelompok orang atau partai menang, itu adalah kemengan demokrasi.
Karena itu, antara sastra dan sastrawan, politik dan politikus tidak boleh saling mengabaikan, harus tetap bersatu, demi kesuksesan demokrasi. Tetapi kelau saling meninggalkan maka akan terjadi tersumbatnya demokrasi atau hal ini yang biasa disebut “politik tanpa hati nurani”, orang akan mengejar kekuasan semata-mata demi kekuasaan. Jadi, kekuasaan didefinisikan sebagai kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau sekelompok orang guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewengan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau skelompok orang untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain.
Namun fakta politik di Timor Leste menunjukkan bahwa kualisi antara partai politik tidak ada yang ideal . Tidak ada satu pun kualisi politik yang digalang para elit politik yang bisa menghasilkan paduan yang kuat. Malahan yang terjadi, mengalami perpecahan dan bubar di tengah jalan. Rumitnya kekuatan politik, aktor dan ideologi yang berbeda menjadi faktor yang menyulitkan. Secara teoretis, kualisi partai politik hanya akan berjalan baik bila dibangun di atas landasan pemikiran yang realistis, kepekaan hati nurani dengan persoalan masyarakat.Tanpa landasan politik semacam ini, maka kualisi itu akan mati suri atau bubar di tengah jalan. Kalau ini yang terjadi, maka substansi politik sebagai sarana bagi pencapaian tujuan bersama, semakin jauh dari harapan publik. Akibatnya, terjadi “transfer kekuasaan yang tidak legal” ke pemerintahan berikutnya (Marijan, 2010, 1-2).
Politik demi kekuasaan
Dalam konstelasi politik di Timor Leste, ada 5 tokoh politik yang sangat diperhitungkan dalam berbagai pertarungan politik, diantaranya Xanana Gusmão (Ketua partai CNRT), Francisco Guterres/Lu Olo Ketua partai Fritilin), Ramos Horta (Independen tanpa partai), Taur Matan Ruak (Ketua partai PLP). Sejumlah tokoh ini sangat diperhitungkan oleh masyarakat, untuk mengkalkulasi ke arah mana Negara akan di bawah. Tetapi beberapa tokoh politik ini, seringkali mengalami tegangan politik dan berimbas pada gesekan politik yang begitu kuat menuju pada pecahnya kualisi politik yang sudah dibentuk. Misalnya kualisi politik Xanana-Taur dan Naimori (pecah karena kepentingan politik yang berbeda). Pertanyaan. Apakah mereka membangun politik demi kekuasaan?
Tujuan berpolitik setiap partai berbeda-beda, tergantung motivasi partai politik tersebut. Dalam banyak aspek keinginan untuk berkuasa itu lahir dari pemahaman kita akan tujuan berpolitik. Konsep Politik secara klasik adalah usaha yang ditempuh warga Negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik fulsuf Aristoteles). Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara. Horal D. Lasswell (1963) mengatakan, politik adalah “siapa yang mendapatkan apa, kapan dan bagaimana” (Damsar, 2010, 11) Dalam hal ini politik berkaitan dengan berbagai kepentingan setiap orang dan setiap partai politik. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat. Untuk memperoleh kekuasaan, setiap Negara mempunyai system demokrasi lewat Pemilu agar mendapatkan legalitas kekuasaan. Kekuasaan yang diperoleh merupakan mandat yang bersifat legal dari undang-undang.
Ketika mandat kepemimpinan itu mendapatkan legalitasnya, maka kepemimpinan akan bersifat sah dan pasti mendapat dukung dari rakyat banyak, tetapi sebaliknya ketika kepemipinan itu tidak mendapatkan persetujuan mayoritas masyarakat maka pemimpin itu tidak akan bertahan lama atau akan jatuh di tengah jalan. Misalnya tampuk kepimpinanan yang tidak mendapatkan legalitas dari rakyat, hanya kepentingan presiden semata, maka kekuasaan itu tidak akan bertahan lama. Contoh kekuasaan yang dijalankan pemerintah Timor Leste pada tahun 2020 ini tanpa proses demokrasi, yang biasa Xanana Gusmao menyebutnya sebagai kekuasaan illegal, melanggar undang-undang.
Dalam konteks ini, politik memiliki konsekuensi logis, yakni: pertama, system yang legal demokratis pasti didukung oleh rakyat banyak, sedangkan pemerintahan illegal non demokratis, tidak akan bertahan lama atau akan jatuh di tengah perjalanan politik.Kedua, de fakto, tujuan politik inse sebagaimana yang kita harapkan bisa mensejahterakan masyarakat, tetapi kenyataannya kualisi politik di Timor Leste mendatangkan kesengsaraan bagi masyarakat. Contoh konkrit, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) selama 1 tahun tidak sukses dalam persidangan di Parlemen Nasional Timor Leste pada tahun 2020. Akibatnya rakyat semakin menderita oleh interese politik yang berbeda dari setiap partai politik yang ada di parlemen.
Persehabatan dalam poitik itu selalu tidak abadi. Sangat tergantung pada terpenuhi atau tidaknya kepentingan politik setiap partai politik . Kualisi politik di Timor Leste (kualisi antara partai CNRT, PLP dan KHUNTO). Kualisi ini gagal dalam mensukseskan APBN(Anggaran Pendapatan Belanja Negara) tahun 2020, hal ini tejadi karena pecahnya kekuataan kualisi di parlemen dan kubu oposisi pemerintah di parlemen menang. Dan Akibatnya kubu kualisi itu pada akhirnya bubar. Artinya, parlemen Nasional tidak memberikan mandat konstitusional untuk mengaplikasikan anggaran keuangan Negara tahun 2020. Bagi msyarakat Timor Leste, hal ini adalah sebuah kegagalan besar dalam mengelola Negara ke depannya. Kualisi politik gagal total dalam mengelola Negara. Oposisi dianggap menang dalam pertarungan politik 2020 ini.
Oposisi politik, salah kaprah
Dalam berbagai kebijakan Negara ada dua kubu yang saling berargumen dalam mensukseskan atau menggagalkan program pemerintah. Kubu yang merindukan sukses, biasanya kubu yang pro pemerintah atau kubu yang berkualisi dengan pemerintah, sedangkan kubu yang merindukan gagalnya program pemerintah itu biasanya kubu oposisi. Sehingga kesan rakyat selama ini, kubu oposisi adalah kubu yang selalu oposan dengan kebijakan Negara atau kubu yang menolak program pemerintah. Dengan kata lain, oposisi merupakan Kubu yang merindukan kegagalan dalam Negara, mereka merasa bahagia kalau program Negara tidak berjalan.
Pemahaman ini sebenarnya sangat salah dalam konteks politik pada sebuah Negara. Pemahaman oposisi semacam ini tidak bisa dibenarkan. Oposisi bukanlah penantang an sich, bukan juga sekedar pihak yang menyatakan tidak setuju, oposisi bukanlah pihak yang tukang teriak tidak setuju semata, atau kalangan yang melawan membabi buta semata. Oposisi adalah setiap ucapan atau perbuatan yang meluruskan kekeliruan, tetapi sambil menggarisbawahi dan menyokong segala sesuatu yang sudah ada di jalan yang benar. Maka dalam konteks ini beroposisi politik berarti melakukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa benar. Ketika kekuasaan menjalani kekeliruan, oposisi berfungsi mengabarkan kepada khlayak kekeliruan itu, sambil membangun penantangan dan perlawanan atasnya. Sebaliknya, ketika kekuasaan menjalankan kekuasaan dengan benar, maka oposisi menggarisbawahi sambil membangun kesadaran dan aksi public untuk meminta kelanjutan dan konsistensi dari praktek kebenaran itu (Fatah Soefulloh Eep, 1999, xi-xii). Dalam konteks Timor Leste, memahami oposisi politik tugas utamanya menolak atau menantang program pemerintah bahkan APBN juga dengan sangat gampang di tolak di parlemen Nasional.
Mengembangkan budaya politik yang positif
Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara, dalam menyelenggarakan administrasi Negara, politik pemerintahan, hukum, norma, kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakatat setiap harinya. Budaya politik ini menuntut semua pemain politik juga untuk menghayati semua bentuk tindakan positif dan melawan semua nilai-nilai yang negative atau yang tidak sepadan dengan harapan masyarakat luas. Membangun budaya politik yang kondusif agar Negara tetap dalam keadaan stabil (Faulks, 2012, 169).
Kalau budaya politik ini tidak di kembangkan maka akan banyak nilai- nilai negative muncul dalam Negara yang berakibat terjadinya kekhaosan atau kekacauan dalam Negara. Akan lahir kekacauan dalam Negara, akan terjadi ketidakstabilan. Untuk itu aktor politik perlu mengembangkan budaya politik yang positif agar Negara berada dalam keadaan yang aman dan terkendali. Demokrasi akan dijalankan dengan baik kalau budaya politiknya dijaga dan dilestarikan secara baik dalam masyarakat.
Kesimpulan
Politik sebagai sarana kesejahteraan masyakat. Semua warga Negara perlu menjaga pemahaman dasar ini, agar masyarakat terjamin kepentingannya dalam setiap pentas politik yang berkembang dalam negara.Tujuannya agar masyarakat tidak merasa digilas oleh derasnya persaingan politik dari sekelompok elit politik . Negara harus mengawasi setiap gerak politik dengan hukum yang berlaku, sehingga masyarakat merasa sejahtera setiap situasi politik yang berkembang.
Negara juga perlu mengawasi secara jernih tujuan politik setiap partai dalam Negara agar tidak saja hanya mengejar kekuasaan tetapi perlu dikembangkan konsep politik dengan hati nurani shingga bisa mengalami keseimbangan antara keinginan dan tujuan berpolitik sesungguhnya. Bepolitik harus bisa menjamin kesejahteraan masyarakat luas. Menjunjung tinggi budaya politik positif agar terbangun kestabilan Negara dan bisa mengembangkan demokrasi secara adil bagi masyarakat luas.
Refrensi
Budiardjo, Mariam. 2008. Dasar –Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia. Jakarta
Damsar.2010. Pengantar Sosiologi Politik. Kharisma Putra Utama. Jakarta.
Faulks.Keith. 2012. Sosiologi politik. Nusa Media. Bandung.
Fatah Soefulloh Eep, 1999. Membangun Oposisi, agenda-agenda perubahan politik masa depan. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Marijan, Kacung. 2010. Sistem politik Indonesia . Prenadamedia . Jakarta
Setiadi M. Elly, Kolip, Sman. 2013.Pengantar Sosiologi Politik. Kharisma Putra Utama. Jakarta
Togas, Stela Nathalia. 2020. Artikel berjudul Kualisi Politik
Discussion about this post